Sunday, December 4, 2016

Luar Biasa....!!! Tak Pernah Berpikir Menjadi Hindu, Malah Sekarang Jadi Sulinggih


“Saya kepingin sekali umat Hindu maju dan tidak ada yang ‘loncat pagar’,” kata perempuan yang lahir di Pemalang, Jawa Tengah, pada tahun 1951 itu. Siapakah dia? Namanya cukup panjang, yakni Ida Rsi Vaisnava Agni Istri Hari Sri Sadana. Nama walaka-nya tentu tak sepanjang itu. Dia bernama Edy Harnity. 


Di manakah griya-nya? Alamat griya-nya sebetulnya tidak sulit untuk ditemukan. Terletak di jalan raya Singaraja-Seririt, tepatnya di Desa Dencarik, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Namanya Griya Batur Taman Sadana. Jika Anda kebetulan melewati jalan raya itu, bila sudah sampai di SPBBU Dencarik cobalah berhenti, lalu menolehlah ke arah utara, pasti terlihat deretan bangunan yang berbeda dari rumah-rumah sekitarnya. Itulah griya-nya. Namun untuk mencapai girya itu harus bergerak ke barat lagi sekitar 50 meter sampai menemukan jalan beraspal ke arah utara (pantai). Karena griya itu terletak di tengah persawahan, mobil harus diparkir di pinggir jalan. Sebab satu-satunya jalan yang tersedia hanya jalan setapak. Sepeda atau sepeda motor memungkinkan melewati jalan setapak itu, tetapi tidak bisa bila berpapasan.

Ketika Raditya mengunjungi pada pertengahan November lalu, Ida Rsi tampak tengah menerima tamu. Juga ada beberapa kerabatnya dari Singaraja beranjangsana. Meski di luar udara cukup panas, namun karena berada di areal persawahan, suasananya jadi adem.

Ida Rsi boleh dikatakan mendadak menjadi sulinggih. Ceritanya, awal Oktober 2012 dia mendapat telepon dari PHDI Pusat bahwa akan diadakan pediksaan massal pada 21 Oktober 2012 lalu. Untuk itu Harnity disuruh menyiapkan diri dan segala keperluan administrasi kesulinggihan. Awalnya ada keraguan pada diri Harnity menerima permintaan PHDI, meskipun sebelumnya ia telah berguru pada seorang nabe. Nabenya tersebut adalah Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna, dari Griya Batur, Tegalcangkring, Jembrana. Pendidikan spiritual itu dilakukan bersama-sama dengan suaminya, Gede Ardhana Wisnu. Namun nasib menentukan lain. Sebelum tuntas pembelajaran itu, pada 2010 suaminya telah lebih dulu dipanggil Tuhan.

Sebelum meninggal suaminya berpesan, kalau bisa, agar proses pembelajaran itu dituntaskan. “Kepikiran oleh wasiat suami, saya terus berdoa agar diberikan tuntunan sehingga diperoleh jalan terbaik bagi kami. Saban hari kami berdoa, lama-lama kami merasakan ketenangan yang sangat mendalam. Rasa benci, iri, dendam, dan sebagainya sirna seketika entah ke mana perginya. Sampai akhirnya kami mendapat telepon dari PHDI dan menjalani pediksaan di Denpasar. Semuanya itu di luar rencana saya. Saya pun sempat tak percaya. Kok bisa ya?” tuturnya.

Walaupun sudah mediksa dan sudah bergelar sulinggih, namun dirinya belum berhak ngeloka-palasraya atau muput untuk segala ritual. Kesulinggihan-nya hanya terbatas untuk kalangan keluarga saja. Ya, Ida Rsi Istri baru “mampu” sebatas nyurya sewana, mejapa, dan mahoma. “Agar bisa ngeloka-palasraya saya masih harus melakukan dua tahapan lagi, yaitu ngelinggihang Weda dan ngelinggihan lingga,” ungkapnya. Ida Istri akan berusaha menggapai posisi itu namun tidak menentukan target. Akan dijalani melalui proses alami dan berharap tetap ada campur tangan dari Tuhan untuk tujuan mulia itu.

Dalam Weda, dia mendapatkan pengetahuan bahwa setiap orang seharusnya pernah melakukan diksa semasa hidupnya. Dia tidak mau setelah mati baru dilakukan diksa. “Apa artinya kalau sudah jadi mayat baru didiksa?” cetusnya.

Untuk menjadi sulinggih, Edy Harnity tak pernah membayangkan sebelumnya. Jangankan menjadi sulinggih, menjadi Hindu saja tak kepikiran sampai saat usia remaja. “Ajaran Hindu sebetulnya bagus sekali. Tapi sayang, tidak banyak umat yang mau merujuk dari sastra agama. Kebanyakan umat cukup puas dengan tradisi gugon tuwon. Sebagai orang yang dibesarkan di keluarga Islam, saya terbawa pada kebisaan merujuk kitab suci, sehingga jika ada yang bertanya tentang sebuah ritual berikut mantramnya, saya bisa menunjukkan sumbernya,” katanya.

Memang sejak kecil hingga tumbuh menjadi dara ayu, dia dibesarkan dan dididik dalam keluarga muslim di Pemalang, Jawa Tengah. Namun saat melanjutkan pendidikan Sekolah Kebidanan di Semarang, dia bertemu dengan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) asal Banjar (Buleleng, Bali). Mahasiswa Undip yang bernama I Gede Ardhana Wisnu kelak menjadi suaminya. Hatinya saling bertaut saat menuntut ilmu di kota Semarang.

Saat mereka menikah pada tahun 1976, Ardhana Wisnu belum menuntaskan kuliahnya. Sementara Harnity, setelah menamatkan sekolahnya, diterima di sebuah puskesmas di Pemalang. Dengan kata lain, mereka harus lebih sering menahan rindu akibat dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh. Boleh dikatakan masa bulan madu dilalui dengan banyak tantangan.

Setelah Ardhana Wisnu berhasil menggondol sarjana hukum, Harnity diboyong ke Desa Banjar pada tahun 1978. Di Puskesmas Banjar pula Harnity melanjutkan pengabdiannya. Di Banjar, keluarga anyar itu hanya bertahan dua tahun. Sebab pada 1980 mereka pindah ke RSU Mataram, NTB. “Saat di Mataram, saya terheran-heran. Sebab banyak umat Hindu yang lahir dari keluarga Hindu justru bertanya kepada saya tentang mantram-mantram. Ini pengalaman aneh. Tantangan di sana lebih besar daripada di Bali. Umat non-Hindu banyak mengajukan pertanyaan yang bernada melecehkan seperti kenapa umat Hindu menyembah patung. Kalau kita tidak siap dan tidak mampu menjawab, pasti mereka akan semakin merendahkan kita selaku umat Hindu,” tuturnya menceritakan pengalamannya selama 25 tahun di NTB.

Kini setelah menyandang predikat sebagai sulinggih bukan berarti rintangan telah berakhir. Dirinya merasa tertantang dengan sikap skeptis umat yang berhenti pada ritual. Idealnya, tutur Ida Rsi Istri, antara ritual, etika, dan tattwa berimbang. Jangan ritual yang lebih ditonjolkan, sementara etika dan tattwa dikerdilkan. Cara-cara yang tak imbang itu menimbulkan persoalan pada umat. Umat Hindu merasa terbebani dengan ritual yang demikian banyak. Mestinya umat mendapat tuntunan benar agar agama tidak dirasakan memberatkan mereka. “Agar umat Hindu tidak ada yang loncat pagar sebagai akibat beban berat yang mereka rasakan dalam beragama. Agama seharusnya meringankan mereka. Mereka harus diberikan pembinaan dan pencerahan. Gugun tuwon jangan biarkan mendominasi mereka,” katanya sambil tidak bisa menyembunyikan logat Jawanya. Kata-katanya sungguh patut direnungkan oleh segenap umat Hindu.

Betapa berkarunianya Tuhan terhadap Edy Harnity. Dari seorang muslim menjelma menjadi Hindu yang tercerahkan dan berlanjut menjadi sulinggih. Dia tidak tertarik lagi mendengar pernyataan-pernyataan kitab suci yang bersifat dogmatis. Kebenaran tidak bisa dimonopoli atas nama agama tertentu. Kebenaran agama harus diselaraskan dengan tingkah laku (karma) umatnya. Karmalah yang menentukan apakah seseorang dapat dikatakan orang baik atau orang jahat. Bukan karena seseorang beragama tertentu. (Made Mustika)



Sumber: http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id
close
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Luar Biasa....!!! Tak Pernah Berpikir Menjadi Hindu, Malah Sekarang Jadi Sulinggih

1 komentar:

  1. Ida resi yang tiang muliakan. Tiang sangat sangat setuju dengan pemikian ida resi. Mogi polih galah tur mamargi antar mangda boya ja hindune sane meratang umatne.

    ReplyDelete