Thursday, January 5, 2017

Bukan Uang Masalah Utama Untuk Ngaben (Utamaning Utama) Ini Penjelasannya



Oleh I Wayan Sariasa

Sebagaimana diketahui, bahwa, budaya mepeson-peson (Keluaran urunan) dan meayah-ayahan (ngayah) dalam sistem mebanjar di Bali, sudah berjalan sejak zaman dulu hingga sekarang. Sistem ini seyogyanya dapat diadopsi dan diterapkan dalam pelaksanaan yadnya Ngaben oleh prati sentana sang seda (Orang yang meninggal) yang masih memiliki hubungan pesidikaraan keluarga, dalam hal ini umumnya ada pada level keluarga tunggal sanggah gede dan atau level tunggal kawitan.

Pada level ini, dengan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga prati sentana sang seda, dengan ikatan pesidikaraannya yang dimiliki, tidak akan terhalangi oleh keterbatasan dana dan atau ketiadaan biaya untuk melaksanakan yadnya ngaben, mensegerakan  sang seda untuk amor ring acintya.

Dalam kelompok ngaben sawa preteka, ada yang namanya Ngaben Swasta Agni Nandang Mantri, yang sudah sejak lama di laksanakan diberbagai tempat di Bali; dalam artian yang diaben adalah jenazah baru atau watangan, sehingga dalam ritualnya tidak perlu menggunakan tetukon, karena jenazah itulah yang diwujudkan sebagai tetukon. Hal ini harus dipahami sebagai pengejawantahan pesan Rsi Bisma dalam Itihasa Mahabarata dimaksud diatas; dan dengan cara ngaben seperti inilah yang seyogyanya diyakini dapat mensegerakan sang seda Amor Ring Acintya.

Dengan demkian dalam pelaksanaan Ngaben Sawa Preteka dalam sistem religi dan keagamaan di Bali, setra benar-benar difungsikan sebagai setra, bukan sebagai kuburan tempat menyimpan tengkorak sang seda, karena jika  dikubur berarti Sang Seda masih harus diikatkan dengan ngenteg tanah, yang berarti pula sang seda masih diikatkan  dengan “Hukum Karmaphala”di bumi.

Manusia yang baru lahir (bayi) hingga berumur 3 bulan juga belum  dibolehkan untuk ngenteg tanah, artinya belum terikat dengan hukum karmaphala,  dalam hal ini si bayi  masih diperstatuskan sebagai “dewa”, dan  baru mulai boleh ngenteg tanah sejak si Bayi sudah berumur 3 bulan disertai dengan  prosesi ritual yang disebut “nelu bulanin” atau sering disebut sebagai prosesi ritual “Ngenteg Tanah”.

Sejak setelah ngenteg tanah itulah manusia mulai terikat dengan hukum karmaphala di bumi, dan keterikatannya tersebut di bumi baru berhenti sejak manusia sudah meninggal. Ini artinya orang yang meninggal tidak berhubungan lagi dengan tanah.

Kita yakin dan percaya kalau kelahiran manusia untuk ada dan terikat dengan bumi untuk kelangsungan hidupnya; itu karena restu-Nya. Mari kita muliakan restu-Nya ini. Demikian juga  kematian manusia untuk kembali tidak ada sebagai sang seda dan lepas tidak terikat lagi dengan bumi; itu karena kehendak-Nya, mari kita muliakan kehendak-Nya ini. Oleh karena itu, ketika manusia sudah menjadi sang seda, dan kita sebagai prati sentananya wajib mensegerakan  melakukan prosesi mengembalikan keasal-Nya.


Jika kita sampai harus menunda-nunda prosesi pengembalian sang seda ke asal-Nya bahkan hingga bertahun-tahun lamanya dengan cara makingsan di pertiwi (dikubur) dan atau mekingsan di gni (dibakar), ini sama artinya para prati sentana menistakan sang seda dan berkesan tidak memuliakan kehendak-Nya.


Sumber : http://balipost.com
close
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Bukan Uang Masalah Utama Untuk Ngaben (Utamaning Utama) Ini Penjelasannya

1 komentar:

  1. Apa bisa spt di india lgsng dibakar saja tanpa banten yg mahal spt di bali, makasi

    ReplyDelete