Sunday, March 19, 2017

Miris!! Yadnya Pendidikan Yang Kurang Di Minati Warga Bali



WARGA Bali yang beragama Hindu sudah hafal di luar kepala konsep Panca Yadnya, sebagai pedoman pokok dalam melaksanakan ritual keagamaan. Panca Yadnya terdiri atas Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. Yadnya mana yang berkaitan dengan peningkatan harkat hidup masyarakat Bali, terutama yang menyentuh sisi manusianya? Tentu saja Manusa Yadnya. 

Namun, konsep Manusa Yadnya selalu diartikan secara sempit, yaitu ritual keagamaan untuk menyelenggarakan upacara kepada manusia. Upacara ini tentu saja dari sisi luarnya, terbukti rangkaian upacara selalu disertai dengan sarana upacara seperti banten. 

Maka dikenallah urutan upacara untuk manusia sebagai berikut: magedong-gedongan (usia tujuh bulan kandungan), kepus pungsed (putusnya tali pusar sang bayi), tutug kambuhan (upacara 42 hari setelah kelahiran), telu bulanan (upacara tiga bulan anak), otonan (upacara enam bulan anak), menek bajang (menginjak remaja yang ditandai menstruasi pertama untuk wanita), matatah (upacara potong gigi), terakhir pawiwahan (perkawinan).

Mana upacara untuk memberikan kepada anak ilmu pengetahuan? Tidak ada. Hanya belakangan ini saja di kota-kota besar, terutama di luar Bali, keluarga Hindu menyelenggarakan upacara pawintenan saraswati untuk anak-anaknya ketika mulai belajar di sekolah. Namun itu tetap dalam jalur ritual keagamaan pula. Memang begitulah sebaiknya, tetapi harus ada prioritas yang dipilih, apakah ritual keagamaan atau ritual duniawi, yakni memberikan anak-anak ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam persaingan hidup di kemudian hari.

Ambil contoh upacara otonan. Apakah perlu upacara ini dilakukan secara besar-besaran sampai menyisihkan dana anak yang semestinya bisa dipakai untuk membeli susu yang merangsang pertumbuhan otak, membiayai masuk Taman Kanak-kanak, dan sebagainya. Jika keluarga itu mampu, ritual keagamaan boleh besar, membangun jiwa dan membenahi otak sang anak tetap bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya. 

Tetapi kalau keluarga itu tidak mampu, penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan perut sekeluarga sehari-hari, sudah pasti menabung untuk pendidikan anak-anak menjadi nomor dua dibandingkan ritual upacara. Bagi masyarakat Bali, tetap lebih penting membuat banten dibandingkan membeli buku untuk anak-anaknya.

Yadnya pendidikan yakni berkorban untuk mengisi ilmu pengetahuan bagi anak-anak sejak dini, kurang mendapat perhatian pada warga Bali. Kalaupun ada, nilainya tergolong kecil. Anak-anak dibiarkan berkembang tanpa program yang pasti. Anak-anak dibiarkan hidup seperti air, mengalir mengikuti arus zaman. 

Orang Bali sangat percaya pada karma phala, bagaimana nasib kehidupan seseorang pada saat ini ditentukan oleh karmanya pada kehidupan di masa lalu. Nasibnya sudah seperti ini, ia menebus karmanya pada kehidupannya terdahulu, mau diapakan lagi. Begitu sering terdengar alasan jika seorang anak hidupnya tidak sebagus yang diharapkan. Padahal karma bukanlah segala-galanya, lebih penting dari itu adalah bagaimana seorang anak didik sejak kecil dan bagaimana lingkungan sekitarnya mempengaruhi jalan hidupnya.

Lahir sebagai wanita juga membawa takdir tersendiri bagi orang Bali yang masih berpegang pada adat masa lalu, dan ini masih terjadi di pedesaan yang kurang maju. Kalaupun ada anggaran pendidikan bagi anak-anak, setelah disisihkan dari prioritas utama yaitu anggaran banten, anak laki-laki yang diutamakan bersekolah. Anak wanita tidak, kecuali ada dana lebih. Untuk apa menyekolahkan anak wanita tinggi-tinggi, toh nanti akan diambil orang. Itu yang dijadikan alasan.

Semua kasus ini, dari minimnya yadnya untuk pendidikan, dan adanya diskriminasi menyangkut gender, membuat sumber daya manusia (SDM) Bali jauh tertinggal dibandingkan SDM umat beragama lainnya. Celakanya adalah pemikiran bahwa tidak perlu ada yadnya khusus pendidikan bukan saja muncul pada pribadi-pribadi orang Bali di pedesaan tetapi juga mengisi relung hati para tokoh-tokoh, baik tokoh adat maupun tokoh yang duduk di pemerintahan.

Sedikit sekali para tokoh Bali yang berkecimpung di dunia pendidikan. Kalau mereka kaya, mereka lebih suka bergerak di bidang pariwisata, atau kalaupun dalam bidang pelayanan paling membuat rumah sakit. Sedikit sekali yang melakukan yadnya dalam bilang melayani manusia, seperti membangun sekolah, membuat panti asuhan dan sebagainya.

Uniknya lagi, kalaupun mereka membangun sekolah, tidak berani dengan tegas menyatakan sekolah itu bernapaskan agama Hindu. Sudah banyak ada Taman Kanak-kanak (TK) di pedesaan, tetapi tidak ada yang disebut TK Hindu. Yang terdengar TK itu memakai nama Hindu hanya di Sesetan, Denpasar Selatan dan di kompleks kampus Unhi Tembau. Begitu pula tingkat SD, SLTP dan SMU/SMK. Tak ada yang berembel-embel Hindu. 

Padahal TK Islam begitu banyak, sekolah yang berlabel Kristen, Katolik juga banyak. Ini membuat pemerintah tak bisa memberikan bantuan guru Hindu. Lihat saja kenyataannya, tahun lalu ada tiga puluh lebih guru Islam diangkat di Bali, guru Hindu kurang dari lima orang. Padahal, umat Hindu di Bali mayoritas. Salah siapa? Ya, salah kita sendiri yang takut mencantumkan identitas keagamaan.

Ajaran Manusa Yadnya harus dikembalikan pada konsep dasar dalam sastra Hindu, yakni yadnya untuk kemanusiaan, yang di dalamnya juga tersirat yadnya untuk pendidikan agar manusia yang dihasilkan memiliki wiweka, berguna untuk bangsa dan berbakti pada agama.

Putu Setia
Sabtu Kliwon, 29 Desember 2007
Source : balipost

close
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Miris!! Yadnya Pendidikan Yang Kurang Di Minati Warga Bali

0 komentar:

Post a Comment